Polwan Propam Polda Bali Tidak Bersalah Tapi Demosi Setahun, Pergolakan Publik Makin Panas

Hukum Pemerintahan viral

haridunia.com – Kasus Polwan Polda Bali, Aipda Ni Luh Putu Eka Purnawyanti, kini menjadi sorotan publik dan wartawan setelah dijatuhi demosi penurunan jabatan selama satu tahun ke Polres Bangli — meski masyarakat dan jurnalis menganggap tindakan itu terlalu ringan mengingat tidak ada niat intimidasi yang terbukti secara jelas. Aksi etik ini diputus oleh Komisi Kode Etik Polri pada sidang tanggal 11 Juli 2025.

Kronologi Sidang Etik & Demosi Setahun

Pada Jumat, 11 Juli 2025, Komisi Kode Etik Polri (KKEP) resmi menjatuhkan sanksi etik kepada Aipda Eka karena dianggap melakukan intimidasi terhadap jurnalis Radar Bali, berdasarkan bukti dan keterangan saksi, termasuk wartawan Radar Bali sendiri.
Sanksi administratif berupa mutasi dan demosi ke Polres Bangli selama satu tahun, bersamaan dengan kewajiban menyampaikan permintaan maaf lisan dan tulisan serta mengikuti pembinaan etika dan mental selama sebulan penuh.
Meskipun Aipda Eka dinyatakan menjaga integritas institusi dengan menerima putusan, banyak pihak mempertanyakan kesesuaian sanksi dengan dugaan intimidasi yang dianggap serius di mata publik dan wartawan.

Sorotan Publik & Keluhan Wartawan

Solidaritas Jurnalis Bali (SJB) pimpinan I Made “Ariel” Suardana menganggap keputusan itu terlalu ringan. Ia menuntut sanksi yang lebih berat karena dampak intimidasi terhadap wartawan dan kebebasan pers.
Tidak hanya soal demosi, jurnalis Radar Bali juga melaporkan dugaan pelanggaran UU Pers dan UU ITE, yang melibatkan Aipda Eka dan sang kekasih sebagai pihak yang merekam video kemudian diedit dan disebarkan tanpa izin.
Video yang viral dinilai mencemarkan nama baik wartawan, serta merekam wajah mereka secara sengaja tanpa izin — membangkitkan respons keras dari komunitas pers lokal.

Reaksi Polwan & Klarifikasi Tersangka

Aipda Eka membantah keras tudingan intimidasi dan menyampaikan bahwa dirinya sebenarnya berusaha menenangkan suasana konflik antara dua jurnalis yang beradu perekaman. Ia mengklaim hanya melerai dan menasihati agar tidak membuat keributan di lokasi publik.
Menurutnya, tindakan itu muncul spontan di tengah keruwetan suasana dan bukan bermaksud menghambat kerja pers. Ia juga merasa niat baiknya justru ditafsir negatif oleh beberapa media tanpa verifikasi.
Namun tetap, Komisi Etik memutus umumnya berdasarkan perilaku yang dinilai menciderai profesionalitas Polri, tanpa mempertimbangkan konteks pribadi atau niat dari Polwan tersebut.

Kritik atas Proses & Media yang Terlibat

Kritik tidak hanya datang dari pihak pers. Warsito, tokoh yang kerap meluruskan pemberitaan hoaks, menyoroti tiga media daring yang dianggap menerbitkan berita sarat bias tanpa klarifikasi terhadap Polwan maupun pihak yang direkam.
Media-media itu disebut menyajikan informasi tanpa konfirmasi, sehingga memicu tudingan dan tekanan publik yang tidak proporsional. Warsito menilai hal ini bisa mencoreng integritas jurnalistik nasional.
Solidaritas rekan media besar pun menyerukan evaluasi terhadap praktek fast publishing; menegaskan bahwa kode etik jurnalistik seharusnya dilaksanakan agar tidak menyebar hoaks yang berbahaya.

Etika Profesi Polri & Kebebasan Pers di Ujung Ujian

Kasus ini jadi pertaruhan soal profesionalisme internal Polri dan komitmen terhadap kebebasan pers. Jika sanksi dipandang ringan publik, integritas institusi bisa dipertanyakan—apalagi jika dalam praktiknya penindakan terhadap jurnalistik dinilai tidak tegas.
Meski Kapolda Bali dan Kabid Humas menyatakan proses tetap netral dan sesuai aturan, penyebaran video tanpa konfirmasi menambah kerumitan narasi publik dan perbedaan persepsi terhadap apa yang dianggap “pelanggaran”.
Secara makro, kasus ini memperlihatkan ketegangan antara batasan etika institusi dengan hak pers dan perlindungan terhadap informasi publik yang benar dan akurat.

Polwan Polda Bali tak bersalah tapi demosi, keputusan yang memantik kontroversi publik luas. Sanksi satu tahun dianggap tidak proporsional terhadap dugaan intimidasi terhadap wartawan, sementara penafsiran media terhadap kejadian menjadi faktor penguat pro-kontra publik. Kasus ini menjadi cerminan kompleksitas penegakan etik antara institusi, media, dan masyarakat.