Wacana LMK dan Kontroversinya
Isu royalti musik kembali mencuat di Indonesia setelah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) mewacanakan pungutan khusus bagi penggunaan lagu di acara pernikahan dan kegiatan keagamaan. Pernyataan itu sontak memicu gelombang protes dari masyarakat, terutama pasangan yang sedang mempersiapkan pesta pernikahan.
Selama ini, pembayaran royalti memang sudah diberlakukan di hotel, mall, hingga restoran yang menggunakan musik komersial. Namun memperluas kewajiban ke ranah privat seperti pesta pernikahan dianggap banyak pihak sebagai langkah berlebihan. Pasalnya, acara pernikahan adalah momen sakral sekaligus budaya yang sudah menjadi tradisi turun-temurun.
Kritik juga datang dari musisi dan pelaku industri hiburan. Ada yang mendukung, karena hal ini dianggap sebagai bentuk perlindungan hak cipta. Tapi tak sedikit yang menilai penerapan di pernikahan hanya akan menimbulkan keresahan baru tanpa memberi dampak signifikan pada kesejahteraan musisi.
Respon Publik: Dari Meme hingga Aksi Protes
Begitu isu ini viral, media sosial langsung dibanjiri komentar pedas. Netizen membuat meme yang menyindir, misalnya undangan pernikahan dengan tulisan “HTM 50 ribu untuk bayar royalti lagu”. Ada juga video parodi pasangan pengantin menari tanpa musik demi menghindari pungutan.
Di sisi lain, ada juga aksi protes nyata. Beberapa komunitas wedding organizer menyatakan keberatan, karena kebijakan ini berpotensi menambah biaya produksi acara secara signifikan. Mereka menuntut pemerintah untuk meninjau ulang aturan sebelum diberlakukan.
Tagar #TolakRoyaltiPernikahan bahkan sempat trending di Twitter Indonesia pada 15 Agustus 2025. Ini menunjukkan bahwa wacana LMK bukan hanya isu teknis, tapi juga menyentuh ranah emosional masyarakat.
Implikasi Terhadap Industri Pernikahan
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan industri pernikahan terbesar di Asia Tenggara. Setiap tahun, ribuan resepsi digelar dengan berbagai skala, dari sederhana di desa hingga mewah di hotel bintang lima. Musik menjadi elemen penting, baik untuk hiburan tamu maupun simbolisasi budaya.
Jika wacana royalti ini diterapkan, maka biaya pernikahan akan meningkat. Bagi pasangan dengan anggaran terbatas, hal ini bisa menjadi beban tambahan. Sebaliknya, bagi musisi, royalti tambahan bisa membuka peluang pendapatan baru—meski jumlahnya kemungkinan tidak terlalu besar jika dibagi rata oleh LMK.
Ada pula prediksi bahwa tren baru akan muncul: lebih banyak pasangan memilih live music tradisional atau karya cipta lokal non-komersial untuk menghindari pungutan. Ini bisa membuka peluang bagi musisi lokal dan genre musik tradisional untuk kembali populer di pesta pernikahan.
Perspektif Hukum dan Hak Cipta
Secara hukum, kewajiban royalti memang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Setiap penggunaan karya musik untuk kepentingan komersial harus memberikan imbalan pada pencipta. Namun yang jadi perdebatan adalah apakah acara pernikahan termasuk kategori “komersial”.
Sebagian ahli hukum menilai pernikahan bersifat pribadi, sehingga tidak semestinya dipungut royalti. Namun LMK berargumen bahwa resepsi sering kali bersifat terbuka dan menghadirkan hiburan, sehingga tetap masuk ranah komersial.
Perdebatan ini menunjukkan adanya celah hukum yang perlu diperjelas. Tanpa regulasi yang jelas, kebijakan royalti bisa menimbulkan multitafsir dan rawan konflik di lapangan.
Dampak Sosial dan Budaya
Wacana royalti musik di pernikahan juga menyentuh dimensi sosial budaya. Musik adalah bagian tak terpisahkan dari pesta adat di berbagai daerah. Di Jawa, misalnya, gending gamelan mengiringi prosesi manten. Di Batak, gondang sabangunan menjadi simbol penghormatan keluarga. Jika semua itu diwajibkan membayar royalti, maka makna budaya bisa terganggu.
Banyak tokoh adat menegaskan bahwa musik tradisional seharusnya tidak dikenai pungutan, karena sifatnya adalah bagian dari identitas kultural, bukan produk komersial. Justru sebaliknya, pemerintah perlu mendukung pelestariannya.
Namun isu ini juga bisa jadi momentum refleksi. Masyarakat jadi lebih sadar tentang pentingnya menghargai hak cipta. Di era digital, banyak musisi yang kesulitan mendapatkan imbalan layak karena karya mereka dikonsumsi gratis. Diskursus royalti ini bisa membuka jalan untuk tata kelola musik yang lebih adil.
Kesimpulan: Antara Perlindungan Hak Cipta dan Kearifan Lokal
Kontroversi royalti musik di pernikahan adalah cermin tarik-menarik antara kepentingan industri dan kepentingan sosial budaya. Di satu sisi, musisi memang layak mendapatkan imbalan. Namun di sisi lain, pernikahan adalah ranah sakral yang tak seharusnya dibebani pungutan berlebihan.
Ke depan, solusinya mungkin bukan sekadar menarik royalti, tapi merumuskan kebijakan yang adil. Misalnya, membedakan antara acara komersial skala besar dengan acara pribadi tradisional. Dengan begitu, hak cipta tetap terlindungi tanpa mengorbankan kearifan lokal dan tradisi masyarakat.