penggusuran

Penggusuran di Bingin Bali: 48 Bisnis Cliff-side Dihancurkan, Warga dan Wisatawan Bereaksi Keras

Lifestyle

Pendahuluan

Pulau Bali dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia dengan keindahan pantainya yang eksotis. Salah satu kawasan yang populer, Bingin, mendadak menjadi sorotan setelah pemerintah daerah melakukan penggusuran besar-besaran terhadap 48 bisnis yang berada di tebing (cliff-side) area tersebut. Penggusuran ini memicu protes keras dari pemilik usaha, warga setempat, hingga wisatawan yang merasa kehilangan daya tarik ikonik kawasan itu.

Isu ini bukan sekadar soal bisnis, tetapi juga menyangkut keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal, estetika kawasan wisata, dan kebijakan pemerintah dalam mengatur tata ruang. Bagaimana kisah penggusuran ini bisa terjadi? Apa dampaknya bagi masyarakat dan sektor pariwisata Bali yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah?


Kronologi Penggusuran dan Alasan Pemerintah

Penggusuran dilakukan pada awal Agustus 2025, dengan alasan utama ketidakpatuhan bangunan terhadap aturan zonasi dan keamanan tebing. Pemerintah daerah Badung menyebutkan bahwa sebagian besar dari 48 bangunan tersebut berdiri tanpa izin mendirikan bangunan (IMB) yang sah, dan beberapa dianggap berisiko runtuh karena posisi berada tepat di atas tebing yang rawan longsor.

Aparat gabungan diturunkan untuk melakukan eksekusi, dengan fokus pada kafe, bar, penginapan, dan vila yang menjadi favorit wisatawan. Meskipun penggusuran dilakukan sesuai prosedur hukum, banyak pemilik usaha mengaku tidak mendapat pemberitahuan yang memadai atau kompensasi yang layak.
Video penggusuran yang viral di media sosial memperlihatkan pemilik usaha menangis, sementara karyawan yang sebagian besar warga lokal mencoba menyelamatkan peralatan bisnis mereka. Momen ini memicu simpati publik dan protes dari berbagai pihak, termasuk asosiasi pariwisata dan komunitas ekspatriat yang telah lama menetap di Bali.


Suara Warga Lokal dan Reaksi Emosional

Bagi warga lokal, bisnis di Bingin bukan hanya sumber penghasilan, tetapi juga bagian dari identitas mereka sebagai penyedia layanan wisata kelas dunia. Dengan penggusuran ini, banyak keluarga kehilangan mata pencaharian utama.

Salah satu warga bernama Made Sugiarta yang telah menjalankan kafe keluarga selama 10 tahun mengaku kecewa berat. Menurutnya, pemerintah seharusnya memberikan alternatif atau relokasi, bukan langsung menghancurkan usaha. “Kami mendukung aturan, tetapi jangan sampai aturan membuat rakyat semakin miskin,” katanya.

Wisatawan juga ikut memberikan komentar, terutama mereka yang sudah menjadikan Bingin sebagai tempat favorit. Banyak yang menganggap area tebing dengan kafe kecil dan view laut adalah daya tarik unik yang tidak bisa digantikan. Kehilangan 48 bisnis ini dikhawatirkan akan mengubah karakter kawasan Bingin yang selama ini dikenal sebagai “surga tersembunyi.”


Hubungan Antara Pariwisata Massal dan Pelestarian Budaya

Penggusuran di Bingin kembali membuka diskusi panjang tentang keseimbangan antara pariwisata massal dan pelestarian budaya serta lingkungan. Pertumbuhan pesat sektor pariwisata Bali dalam dua dekade terakhir membawa banyak keuntungan ekonomi, tetapi juga menimbulkan dampak serius seperti kemacetan, polusi, dan alih fungsi lahan.

Pemerintah berargumen bahwa pengaturan tata ruang, termasuk penggusuran bangunan ilegal, adalah langkah penting untuk mencegah bencana ekologis di masa depan. Area tebing Bingin termasuk zona rawan longsor, sehingga keberadaan bangunan di lokasi itu dianggap melanggar prinsip keselamatan publik.

Namun, aktivis lingkungan berpendapat bahwa penggusuran tidak boleh hanya fokus pada bangunan kecil milik warga lokal. Mereka menyoroti keberadaan proyek besar seperti resort mewah dan properti komersial yang justru memiliki dampak lingkungan lebih besar, tetapi tetap berdiri karena memiliki izin resmi dan dukungan finansial yang kuat.


Dampak Ekonomi dan Sosial Jangka Pendek

Hilangnya 48 bisnis dalam semalam berarti hilangnya ratusan lapangan pekerjaan, terutama bagi karyawan lokal yang selama ini bergantung pada sektor pariwisata. Beberapa usaha bahkan telah menjadi ikon lokal, menarik wisatawan asing yang mencari pengalaman otentik di tepi tebing Bingin.

Asosiasi Pariwisata Bali memperkirakan kerugian ekonomi akibat penggusuran mencapai miliaran rupiah, termasuk dampak tidak langsung seperti berkurangnya daya tarik wisata di kawasan itu. Beberapa agen perjalanan mencatat pembatalan pemesanan dari wisatawan yang awalnya memilih Bingin karena suasana uniknya.

Dari sisi sosial, ketegangan antara pemerintah dan masyarakat meningkat. Demonstrasi kecil-kecilan terjadi di kantor bupati Badung, dengan tuntutan agar pemerintah memberikan solusi, seperti relokasi usaha atau kompensasi finansial.


Reaksi Pemerintah dan Klarifikasi Resmi

Menanggapi protes, pemerintah daerah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa penggusuran ini adalah bagian dari program penataan kawasan wisata berbasis keselamatan dan legalitas. Mereka mengklaim telah memberikan surat peringatan kepada para pemilik usaha jauh hari sebelum eksekusi, meskipun beberapa pengusaha membantah menerima pemberitahuan yang jelas.

Pemerintah juga menyatakan sedang menyiapkan lahan relokasi untuk bisnis yang terdampak, tetapi prosesnya memerlukan waktu karena menyangkut izin lingkungan baru dan koordinasi antar instansi. Pejabat daerah menegaskan bahwa Bali harus menjaga reputasinya sebagai destinasi wisata yang aman dan tertib, bukan tempat dengan bangunan ilegal yang berpotensi membahayakan wisatawan.


Opini Publik dan Peran Media Sosial

Media sosial memainkan peran besar dalam membentuk opini publik terkait penggusuran Bingin. Tagar #SaveBingin sempat trending di X (Twitter) dan Instagram, dengan ribuan pengguna berbagi foto-foto sebelum dan sesudah penggusuran. Banyak yang menilai bahwa keindahan Bingin akan berkurang karena hilangnya kafe-kafe kecil yang ikonik.

Sebaliknya, ada pula netizen yang mendukung langkah pemerintah, dengan alasan keselamatan dan pentingnya mematuhi aturan. Perdebatan online ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara cara pandang pelaku usaha kecil, pemerintah, dan wisatawan terhadap konsep pembangunan berkelanjutan.


Kesimpulan: Jalan Tengah untuk Pembangunan Berkelanjutan

Penggusuran di Bingin Bali menjadi contoh nyata betapa rumitnya mengatur keseimbangan antara ekonomi, budaya, lingkungan, dan tata kelola pemerintahan. Pemerintah memiliki kewajiban menjaga keselamatan dan mematuhi regulasi tata ruang, tetapi di sisi lain, masyarakat membutuhkan kepastian ekonomi dan keadilan.

Jalan tengah harus ditemukan melalui dialog terbuka, transparansi, dan solusi yang adil bagi semua pihak. Relokasi yang layak, kompensasi yang wajar, dan pengaturan zona wisata yang lebih jelas dapat menjadi kunci untuk menghindari konflik serupa di masa depan.

Bagi Bali, yang reputasinya sudah mendunia, menjaga keindahan alam dan budaya harus dilakukan dengan pendekatan yang inklusif, di mana semua pemangku kepentingan – pemerintah, pelaku usaha, warga, dan wisatawan – dapat bersama-sama merumuskan masa depan yang lebih berkelanjutan.


Referensi: