Labuan Bajo dan Gelar ASEAN Eco Tourism Summit 2025
Labuan Bajo kembali jadi sorotan dunia setelah resmi menjadi tuan rumah ASEAN Eco Tourism Summit 2025. Acara prestisius ini dihadiri lebih dari 500 peserta dari 10 negara ASEAN, termasuk delegasi pariwisata, NGO lingkungan, travel influencer, dan pelaku industri hospitality. Kegiatan ini berlangsung dari 14 hingga 17 Juli 2025 di kawasan Marina Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Summit ini mengangkat tema “Sustainable Journey for the Future,” yang menyoroti pentingnya pengembangan wisata yang ramah lingkungan di era perubahan iklim global. Indonesia, sebagai negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, dinilai sangat strategis dalam mendorong praktik eco tourism. Labuan Bajo dipilih karena sukses bertransformasi dari desa nelayan menjadi salah satu eco-destination paling berkembang di Asia Tenggara.
Acara ini tidak hanya terdiri dari seminar dan diskusi, tapi juga field trip ke Taman Nasional Komodo, Desa Melo, dan Pulau Rinca. Para peserta diajak menyaksikan langsung implementasi wisata berkelanjutan, seperti pembatasan kunjungan turis, pengelolaan sampah digital, dan kolaborasi dengan komunitas lokal. Momen ini menjadi bukti bahwa pariwisata masa depan adalah tentang pelestarian, bukan hanya eksplorasi.
Booming Pariwisata Hijau di Kalangan Gen Z
Tren wisata hijau atau eco tourism makin digemari oleh traveler muda, terutama Gen Z dan early millennial. Alih-alih mencari spot selfie semata, banyak dari mereka kini lebih tertarik pada pengalaman yang berdampak, seperti volunteer tourism, slow travel, atau menginap di eco lodge yang memakai tenaga surya. Gaya liburan ini dianggap lebih meaningful dan sejalan dengan nilai kesadaran lingkungan yang mereka yakini.
Di TikTok dan Instagram, tagar seperti #EcoTravelIndonesia dan #SadarLiburan terus naik popularitasnya. Konten yang memperlihatkan interaksi langsung dengan alam—seperti memungut sampah di pantai, menginap di rumah bambu, atau memberi makan penyu—jadi viral dan disukai. Fenomena ini menunjukkan bahwa traveling kini bukan cuma pelarian, tapi juga ekspresi tanggung jawab sosial.
Pemerintah dan swasta merespons tren ini dengan cepat. Banyak destinasi baru mulai membatasi jumlah pengunjung per hari, menghapus plastik sekali pakai, serta memberikan sertifikasi green label bagi hotel dan homestay. Labuan Bajo jadi model sukses yang diikuti daerah lain seperti Raja Ampat, Wakatobi, dan Belitung yang mulai mengembangkan program wisata berkelanjutan secara serius.
Transformasi Labuan Bajo dari Nelayan ke Destinasi Dunia
Labuan Bajo dulunya hanyalah kampung nelayan kecil di pesisir Flores. Namun sejak 2015, wilayah ini mendapat perhatian nasional lewat proyek pengembangan pariwisata super prioritas. Infrastruktur pelabuhan, bandara, hingga hotel-hotel bintang lima mulai dibangun, tapi sejak 2020 arah pengembangan mulai berubah: fokus pada eco tourism dan keberlanjutan.
Pemerintah bekerja sama dengan LSM lingkungan dan komunitas lokal untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Salah satu langkah paling signifikan adalah pembatasan kuota pengunjung harian ke Pulau Komodo demi menjaga habitat hewan langka itu. Selain itu, masyarakat lokal juga dilibatkan sebagai pemandu wisata, pengrajin souvenir, hingga penyedia makanan organik.
Kini Labuan Bajo dikenal bukan hanya karena komodo, tapi karena konsistensinya menjaga alam dan memberdayakan masyarakat. Banyak wisatawan yang memuji pengalaman otentik di sini, seperti ikut menenun kain ikat, belajar memasak makanan Flores, atau camping di bukit sambil melihat matahari terbit. Semua pengalaman ini dibingkai dalam narasi pelestarian dan keaslian budaya.
Peran Komunitas Lokal dalam Pariwisata Berkelanjutan
Salah satu kekuatan utama eco tourism di Labuan Bajo adalah peran aktif komunitas lokal. Mereka bukan cuma objek wisata, tapi pelaku utama dalam menyusun pengalaman berkesan yang bertanggung jawab. Banyak warga yang kini menjadi entrepreneur pariwisata, seperti membuka homestay ramah lingkungan, mengelola tracking guide, atau mengajarkan budaya lokal ke wisatawan.
Pemerintah daerah dan NGO memberikan pelatihan intensif tentang hospitality, bahasa Inggris, pengelolaan keuangan, dan standar layanan wisata. Program seperti “Desa Wisata Berbasis Komunitas” terbukti meningkatkan pendapatan warga dan memperkuat identitas budaya setempat. Wisatawan pun merasa lebih terhubung dengan kehidupan lokal ketimbang sekadar melihat-lihat tempat eksotis.
Selain itu, banyak anak muda di Flores kini bangga menjadi bagian dari industri pariwisata. Mereka membuat startup lokal yang menjual eco tour packages, mengelola social media kampanye pelestarian laut, atau menjadi host digital nomad retreat di desa-desa sekitar Labuan Bajo. Hal ini menciptakan ekosistem ekonomi baru yang berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan pada industri ekstraktif seperti tambang.
Masa Depan Pariwisata Indonesia: Hijau dan Inklusif
Kesuksesan ASEAN Eco Tourism Summit 2025 di Labuan Bajo diharapkan jadi titik balik untuk pariwisata Indonesia secara menyeluruh. Tidak hanya soal mendatangkan lebih banyak turis, tapi bagaimana membuat mereka datang dengan lebih sadar, lebih peduli, dan lebih menghormati lingkungan serta budaya lokal. Ini sejalan dengan prinsip responsible tourism yang kini jadi standar global.
Pemerintah pusat sudah merilis Rencana Induk Pariwisata Hijau 2025–2030, dengan target 40% destinasi prioritas bersertifikasi ramah lingkungan pada 2027. Ada pula insentif untuk pelaku usaha wisata yang mengurangi jejak karbon dan membatasi limbah. Peran digital marketing juga makin krusial, karena kampanye seperti “#ExploreResponsibly” jadi jembatan antara edukasi dan promosi.
Kolaborasi regional antarnegara ASEAN juga jadi momentum penting. Dalam summit ini, disepakati platform berbagi data dan best practice antar destinasi wisata hijau. Hal ini memungkinkan kerja sama dalam pelestarian laut, konservasi hutan tropis, dan pengembangan energi bersih di sektor pariwisata. Indonesia punya peluang besar untuk jadi pemimpin di bidang ini, mengingat kekayaan alam dan budaya yang luar biasa.
Penutup
Labuan Bajo bukan cuma destinasi cantik. Ia kini jadi simbol perubahan arah wisata Indonesia: dari eksploitatif ke berkelanjutan, dari mass tourism ke mindful travel. Menjadi tuan rumah ASEAN Eco Tourism 2025 adalah validasi bahwa Indonesia bisa memimpin tren wisata global yang peduli lingkungan dan memberdayakan manusia.
Tren eco tourism juga bukan sekadar gaya hidup kekinian, tapi kebutuhan masa depan. Dunia sedang berubah, dan traveler pun makin sadar bahwa tempat yang mereka kunjungi harus tetap lestari untuk generasi berikutnya. Wisata yang hebat bukan cuma bikin takjub, tapi juga meninggalkan dampak positif.
Kalau kamu berencana liburan dalam waktu dekat, coba pertimbangkan destinasi yang ramah lingkungan. Karena liburan yang baik bukan cuma soal pergi jauh, tapi soal pulang dengan hati yang lebih luas.
Referensi